Minggu, 23 Maret 2014

A.   PENDAHULUAN
Al-Qur'an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas (QS. 2:185) yang mengeluarkan ummat manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang (QS. 14:1). Di antara ayatnya menjelaskan, bahwa manusia tadinya merupakan satu kesatuan (ummatan wahidatan). Tetapi karena lajunya perkembangan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan baru yang menjadikan manusia berselisih. Karena itu Allah Swt. Mengutus Para Nabi-Nya serta menurunkan al-Kitab untuk menyelesaikan perselisihan dan menemukan jalan keluar dari problem itu (QS. 2:213).
Agar al-Qur'an berfungsi sebagai mana yang digambarkan di atas,  al-Qur'an memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahami ayat-ayatnya, sehingga mereka – melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat ataupun tersirat – dapat menemukan cahaya yang terang benderang itu.
Usaha untuk memahami al-Qur'an telah berlangsung berbarengan dengan saat diturunkannya. Upaya ini dilakukan pertama kali oleh Rasulullah Saw., sebagai yang mendapatkan amanat secara langsung dari Allah Swt. untuk menjelaskannya (QS. 16 : 44 ), kemudian diiringi oleh para shahabat dan generasi-generasi berikutnya setelah mereka tidak menemukan penjelasan Rasulullah Saw. Usaha-usaha yang dilakukan oleh mereka di atas disebut tafsir.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan manusia dan masuknya pengaruh dari dunia ilmu pengetahuan, maka di samping istilah tafsir di atas terdapat pula istilah lain yang memiliki fungsi yang sama, yaitu faham, ta'wil dan tajamah.

B.     FAHAM, TAFSIR, TA'WIL DAN TARJAMAH

Pengertian Faham, Tafsir, Ta'wil dan Tarjamah
Secara teoritis belum banyak para ahli yang mendeskripsikan tentang istilah pemahaman (al-fahm), lain halnya dengan istilah tafsir, ta'wil dan tarjamah. Dengan sangat ringkas Ibn Mandzhur (1999 : 343) dalam Lisan al-'Arab menjelaskan, bahwa Faham (al-fahm) معرفتك الشيئ بالقلب (pengetahuanmu berdasarkan penilaian hati tentang sesuatu). Dan ungkapan rajulun fahimun, maknanya seseorang sangat cepat pemamahannya.  Demikian pula al-Jurjani (1405 : 148) mengungkapkan, fahm  adalah تصور المعنى من لفظ المخاطب menggambarkan makna dari sesuatu yang diungkapkan oleh pihak kedua / mukhathab (Al-Jurjani, 1405 : t.p.). Memahami (fahm) al-Qur'an berarti suatu upaya untuk menggambarkan makna ayat al-Qur'an. Untuk lebih jelasnya di bawah nanti akan dikemukakan perbedaannya dengan tafsir.
Tafsir adalah suatu istilah yang diambil dari bahasa Arab, yakni al-fasr, yang artinya menurut al-Dzahabi (1976 : 13) adalah al-idlah wa al-tabyin (penjelasan dan keterangan) seperti terungkap dalam QS. 25:33. Penulis Lisan al-'Arabi, Ibn al-Mandzhur memaknakannya dengan al-bayan (menjelaskan) dan kasyf al-mughaththa (menyingkapkan sesuatu yang masih tertutup). Dan yang dimaksud adalah menjelaskan suatu maksud dari lafal ayat yang sulit difahami (Al-Dzhabi, 1976 : 13).
Abu Hayyan dalam kitabnya, al-Bahr al-Muhith mengungkapkan, bahwa tafsir adalah :
علم يبحث عن كيفية النطق باللفاظ القران, و مدلولاتها, و احكامها الافرادية و التركيبية, و معانيها التي تحمل عليهاحالة التركيب و تتمات لذلك
Ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur'an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri ataupun ketika tersusun, makna-makna yang dikandungnya ketika tersusun dan hal-hal lain yang melengkapinya (Al-Dzahabi, 1976 : 13).
Demikian pula al-Zarkasyi memberikan pengertian
علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبييه محمد صلعم و بيان معانيه و استخراج احكامه و حكمه.
Ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammadi Saw., menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya (Al-Dzahabi, 1976 : 13).
Al-Zarqani (t.th. : 3) juga memberikan ta'rif, bahwa yang dimaksud tafsir adalah
علم يبحث فيه عن القران الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية.
Ilmu yang membahas al-Qur'an al-Karim dari segi dalalahnya terhadap apa yang dimaksud oleh Allah Swt. sesuai kadar kemampuan manusia.
Ahmad Asy-Syirbashi (1985 : 5) mengungkapkan, bahwa secara global ulama mempunyai dua pengertian tentang tafsir,    yaitu :
1.   Penjelasan atau keterangan tentang firman Allah Swt. yang dapat memberikan pengertian mengenai susunan kalimat yang terdapat dalam al-Qur'an;
2.   Merupakan bagian dari ilmu badi'  sebagai salah satu cabang dari ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam penyusunan kalimat.
Masih banyak pengertian lain tentang tafsir yang telah dikemukakan ulama, yang masing-masing berbeda dalam penekannya. Pertama menekankan tafsir sebagai alat dan kedua menekankan tafsir sebagai tujuan. Menurut Dr. Abd. Muin Salim semua pengertian itu dapatlah dikompromikan dan paling tidak terkandung tiga konsep, yaitu : pertama tafsir merupakan kegiatan ilmiah yang berfungsi untuk memahami dan menjelaskan kandungan ayat al-Qur'an, kedua tafsir sebagai ilmu pengetahuan yang digunakan  untuk melakukan kegiatan ilmiah tersebut dan ketiga tafsir sebagai ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kegiatan ilmiah di atas. Ketiga konsep ini dapat disimpulkan, bahwa tafsir itu sebagai proses, alat dan hasil (Abd. Muin Salim, 2005 : 28).
Istilah tafsir terkadang pula disamakan dengan ta`wil. Karena itu do'a Rasulullah untuk Ibn 'Abbas – Ya Allah ! semoga engkau memberikan pemahaman yang mendalam tentang agama kepadanya (Ibn 'Abbas) dan semoga pula mengajarkan kepadanya ta`wil, yakni tafsir. Tetapi selain itu ada yang menganggap, bahwa ta`wil itu lain dengan tafssir.
Al-Dzahabi (1976 : 13) mengutip apa yang dikemukan oleh penulis Lisan al-'Arab, bahwa ta`wil secara bahasa berakar kata dari al-'aul yang semakna dengan al-ruju' (kembali). Selain dari itu ada pula yang menilai, bahwa ta`wil berakar kata dari al-iyalah yang artinya al-siyasah (mengendalikan). Orang yang memberikan ta`wil berarti mengendalikan ucapan dan meletakkan makna menurut yang semestinya.
Ulama salaf terbagi pada dua kelompok dalam memahami ta`wil. Pertama menurut mereka, bahwa ta`wil sinonim dengan tafsir dan kedua ta`wil itu esensi kalam (ucapan). Ulama Mutaakhkhirin (yang tergabung di dalamnya ahli fiqih, ahli kalam, ahli tasauf dll) memaknakan ta`wil
صرف اللفظ عن المعنى الراجح الى المعنى المرجوح لدليل يقترن به
Memalingkan suatu lafad dari maknanya yang jelas pada makna yang tidak jelas karena ada dalil yang membarenginya (Al-Dzahabi, 1976 : 17-18).
Dua pengertian tentang ta`wil di atas memberikan dampak yang berbeda pula terhadap sikap ulama. Ulama salaf merasa keberatan melakukan pena`wilan al-Qur'an dalm arti mengungkap esensinya dan memalingkan dari makna yang jelas pada yang tidak jelas. Imam Malik – misalnya - enggan membenarkan seseorang berkata, "langit menurunkan hujan", karena menurutnya, bahwa sesungguhnya Allahlah yang menurunkan hujan itu. (Quraish Shihab, 1992 : 97).
Quraish Shihab, (1992 :109-110) mengistilahkan ta`wil dengan penjelasan metaforis. Menurutnya, bahwa ulama salaf  merasa puas dengan mengungkapkan Allah a'lam bi muradih (Allah Maha mengetahui maksud-Nya). Tetapi hal ini sebenarnnya tidak memuaskan banyak pihak apalagi pada dewasa ini. Karena itu sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dari penjelasan literal (tafsir) beralih pada penjelasan metaforis (ta'wil). Dan pada kenyataannya tafsir seringkali mempersempit makna, berbeda dengan ta`wil dapat memperluas makna dan tidak menyimpang.
Di samping istilah-istilah di atas yang berfungsi untuk menjelaskan al-Qur'an ada pula istilah lain yang disebut tarjamah. Al-Dzahabi (l976 : 23) menyebutnya sebagai tafsir dengan yang bukan bahasanya. Tarjamah menurut bahasa ungkap al-Dzahabi mencakup pada dua makna, pertama memindahkan suatu bahasa pada bahasa lain dengan tanpa ada penjelasan makna asal yang diterjemahkan dan kedua menafsirkan (menerangkan) suatu ucapan serta menerangkan maknanya dengan bahasa yang lain.
Tarjamah dalam tataran praktisnya terdapat dua bagian, yaitu tarjamah harfiyah dan tarjamah tafsiriyah. Tarjamah harfiyah, baik menurut al-Dzahabi (1976 : 23-24) ataupun menurut  al-Qaththan (1973 : 313) adalah memindahkan suatu ucapan dari suatu bahasa (pertama) ke bahasa yang lain (kedua) dengan tetap sesuai dengan struktur dan susunan bahasa asalnya (pertama)serta terpenuhi semua maknanya. Tarjamah harfiyyah bagi al-Qur'an ada dengan cara bi al-misl, yaitu menterjemahkan al-Qur'an sesuai dengan kosa kata dan uslubnya dan ada pula dengan cara bi ghair al-misl, yakni menterjemahkan al-Qur'an sesuai dengan kemampuan dan keluasan bahasa penterjemah. Al-Dzahabi menilai (1976 : 25) , bahwa tarjamah harfiyah walaupun mungkin dapat digunakan untuk kalam manusia, tetapi tidak boleh bagi al-Qur'an, sebabdapat merusak makna.
Tarjamah tafsiriyah atau disebut pula tarjamah ma'nawiyah menurut al-Qaththan (1973 : 313) adalah menjelaskan suatu ucapan dengan bahasa yang lain dengan tanpa teikat pada susunan dan struktur bahasa asalnya. Tarjamah tafsiriyah/ma'nawiyah  mempunyai dua makna, yaitu ada yang memiliki makna asli (primer), artinya makna yang difahami secara sama oleh setiap orang yang mengetahui pengertian  lafad, baik secara mufrad atau secara murakab.  Dan ada yang memilki makna tsanawi (skunder), yakni makna yang khusus bagi susunan suatu kalimat yang dapat menjadikan perkataan itu berkualitas tinggi.
Tarjamah tafsiriyah yang bermakna tsanawi tidak mudah untuk dilaksanakan, sebab sulitnya menemukan padanan suatu bahasa dengan bahasa Arab (al-Qur'an) yang dalalah lafad-lafadnya terhadap makna-maknanya menurut ahli bayan memiliki khawash al-tarkib (keunikan susunan). Dan yang paling mungkin dilakukan untuk menterjemahkan al-Qur'an adalah dengan terjemah tafsiriyah yang bermakna ashli, sebab jika tidak demikian pesan al-Qur'an untuk orang 'ajam tidak bisa sampai.

Perbedaan antara  Faham, Tafsir, Ta'wil dan Tarjamah

Roni Nugraha ketika menjelaskan perbedaan antara tafsir dan fahm dalam kertas kerjanya mengutip penjelasan yang disampaikan Nurwajah. Perbedaan antara faham dan tafsir terletak pada karakteristik dan tujuannya. Karakter tafsir bersifat objektif dan faham bersifat subjektif. Tujuan dalam penafsiran adalah untuk mengungkapkan dan menjelaskan maksud-maksud Allah dalam al-Qur'an (al-kasyf wa al-bayan 'an murad Allah) sedang tujuan pemahaman al-Qur'an adalah terikat pada tujuan si pemaham al-Qur'an.
Perbedaan antara tafsir dan ta'wil, Al-Dzahabi (1976 : 19-22) menginpentarisasi beberapa pandangan ulama, yaitu :
1.   'Abu 'Ubaidah  dan yang segolongan dengannya menilai, bahwa tafsir sinonim dengan  ta'wil itu, yakni satu makna.
2.   Menurut al-Raghib al-Ashfahani, bahwa tafsir itu lebih umum dari pada ta'wil. Ta'wil banyak digunakan untuk memahami lafad sedang ta'wil banyak digunakan untuk memahami makna. Ta'wil banyak digunakan dalam pembahasan masalah ketuhanan sedang tafsir selain digunakan dalam pembahasan ketuhanan juga digunakan pula dalam pembahasan lainnya. Tafsir banyak digunakan untuk memahami kosa kata, sedang ta'wil banyak digunakan dalam jumlah (kalimat). Ta'wil banyak digunakan untuk memahami lafad-lafad yang gharib dan memahami makna yang terkandung dalam qishah sedang ta'wil adakalnya memaknakan suatu lafad secara umum dan adakalanya secara khusus dan pula untuk memahmai makna lafad musytarak.
3.   Al-Maturidi menjelaskan, bahwa tafsir menetapkan secara pasti maksud kata itu sedang ta'wil hanya membenarkan salah satu di antara beberapa kemungkinan makna, tanpa menetapkan secara pasti mana yang paling benar.
4.   Abu Thalib al-Tsa'labi menegaskan, tafsir adalah penjelasan mengenai pengertian suatu kata baik secara hakiki atau majazi, sedang ta'wil adalah tafsir mengenai apa yang tersirat dalam kata/kalimat.
5.   Al-Baghawi sejalan pula dengan al-Kawasyi menjelaskan, bahwa ta'wil memalingkan ayat pada makna yang dikandungnya, baik sesuai dengan ungkapan sebelumnya ataupun sesudahnya dengan tetap tidak menyalahi al-Kitab dan al-Sunnah dengan dengan jalan beristinbath, sedang tafsir adalah uraian tentang asbab al-nuzul ayat dan persoalan-persoalannya serta kisah-kisahnya.
6.   Menurut sebagian yang lain, bahwa tafsir ditempuh dengan pendekatan riwayah sedang ta'wil ditempuh dengan pendekatan dirayah.
7.   Selain itu pula ada yang berbendapat, bahwa ta'wil  merupakan penjelasan makna secara 'ibarah sedang ta'wil merupakan penjelasan makna secara isyarah.
Untuk mendapatkan gambaran yang konkrit tentang perbedaan antara tafsir, ta'wil dan faham, Prof. Dr. Nurwajah Ahmad Eq dalam kuliah tentang Ulumul Qur'an tanggal 17 Februari 2008 menjelaskan sebagai berikut :


SEGI-SEGI
TAFSIR
TA'WIL
FAHAM




Tujuan
Pengungkapan dan penjelasan maksud Allah.
Pengambilan makna ayat sesuai dengan tujuan pelaku
Pengambilan makna ayat sesuai dengan tujuan pelaku.
Metode
Al-tahlili, maudlui', muqarani dan ijmali.
Tarjih al-ma'na, dari yang rajih pada yang marjuh.
Nalar
Sumber
Al-Qur'an, al-Hadits dan qaul shahabi.
Bahasa Arab.


Informasi kebahasaan dan kemampuan-kemampuan manusia.
Alat
Ulum al-Qur'an dan kemampuan-kemampuan manusia.
Ilmu bahasa Arab
Kekuatan akal dan ilmu bahasa.
Satuan Kajian
Ayat-ayat atau lafad-lafad (kosa kata) yang terikat pada satu kesatuan utuh sistema redaksioanal al-Qur'an.
Kalimat (jumlah) yang terikat pada satu kesatuan utuh sistema redaksioanal ayat al-Qur'an.
Bisa saja lepas dari ikatan
kesatuan sistema redaksional.
Sikap (gaya) Pelaku/Subjek
Apresiatif dan aktif dalam mencari maksud Allah.
Apresiatif dan aktif dalam mencari maksud Allah.
Secara umum interventif dalam
menuntaskan tujuannya.
Perlakuan subjek terhadap al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk (hudan) sekaligus pembicara (mutakallim) otoritatif dalam tema yang diajuikan pada al-Qur'an.
Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk (hudan) sekaligus pembicara (mutakallim) otoritatif dalam tema yang diajuikan pada al-Qur'an.
Al-Qur'an sebagai sumber untuk tujuan pemahaman



Tafsir juga berbeda dengan tarjamah (tafsiriyah). Menurut al-Dzahabi (1976 : 28), bahwa perbedaan diantara keduanya dapat ditinjau dari dua segi, pertama Tafsir dan tarjamah masing-masing berbeda dalam penggunaan bahasa, tafsir menggunakan bahasa aslinya sedangkan tarjamah menggunakan bahasa lain (yang bukan aslinya).  Kedua seseorang yang membaca dan memahami tafsir dimungkinkan akan memperhatikan susunan dan dalalah bahasa aslinya lalu jika ia menemukan kesalahan akan segera mengoreksinya. Berbeda seorang yang membaca tarjamah tidak memperhatikan hal itu, karena ia tidak mengetahui susunan dan dalalahsuatu bahasa (al-Qur'an).
Perbedaan lainnya, ketiga bahwa pada terjemah tidak terdapat lagi bahasa aslinya, sedang pada tafsir bahasa aslinya masih tetap ada dan dikutip kembali; keempat  pada tarjamah tidak boleh ada perluasan makna, sedang pada tafsir perluasan makna merupakan suatu keharusan.; kelima  pada terjemah harus terpenuhi maksud dan makna bahasa aslinya karena itu sipenterjemah dapat dikatakan telah berhasil dalam melakukan penterjemahan, berbeda halnya dengan tafsir,  tidak harus terpenuhi semua maksud dan makna bahasa yang ditafsirkan dan bahkan pengakuan mengenai keberhasilannya pun relative.

C.     METODE DAN CORAK PENAFSIRAN


Pada masa-masa awal pertumbuhan tafsir, metode penafsiran didasarkan pada sumbernya, secara global terdapat dua macam metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-riwayah (bi al-ma'tsur) dan tafsir bi al-dirayah (bi al-ma'qul / bi al-ra'y). Dari dua metode ini kemudian berkembang dan lahir metode ijmali, tahlili, muqaran dan maudlui'.
Menurut al-Qaththan (l973 : 347), bahwa yang dimaksud tafsir bi al-riwayah adalah tafsir yang disandarkan pada nash-nash yang dinukil secara shahih dan tartib, seperti tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, dengan al-sunnah, dengan atsar shahabat kemudian dengan qaul tabi'in.
Jika merujuk pada pengertian di atas, maka ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-riwayah. Pertama al-Qur'an yang dipandang sebagai penafsir yang terbaik bagi al-Qur'an; kedua al-Sunnah yang berfungsi sebagai mubayyin al-Qur'an; ketiga shahabat yang dianggap paling mengetahui tentang penafsiran al-Qur'an dan keempat tabi'in sebagai orang yang bertemu dengan shahabat (Rosihon Anwar, 2001 : 182). Karena otoritas-otoritas ini, Ibnu Katsir (1970 : 7) menilai tafsir bi al-riwayah sebagai tafsir yang paling baik. Namun demikian ungkap Quraisy Shihab (1992 :84), dalam tafsir ini tidak terlepas dari adanya keistimewaan-keistimewaan dan kelemahan-kelemahan.
Kelebihan-kelebihannya adalah pertama menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur'an; kedua memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya dan ketiga mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
Kelemahan-kelemahannya dapat diperhatikan pada kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini. Pertama para mufassir terjerumus pada uraian kebahasaan dan kesusastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur'an menjadi kabur; kedua sering konteks turunnya ayat kurang diperhatikan, sehingga seolah-olah ayat-ayat itu turun di tengah-tengah masa yang hampa budaya. Di samping itu pula ketiga dalam kitab tafsir bi al-riwayah tidak tersaring dari riwayat-riwayat yang dla'if dan maudlu.
Sedang tafsir bi al-dirayah adalah tafsir yang penjelasan-penjelasannya disamping disandarkan pada al-Qur'an, al-Sunnah, atsar shahabat dan tabi'in juga menggunakan ijtihad dan akal yang berpegang pada qaidah-qaidah bahasa, adat-istiadat dan keilmuan lainnya (Hasbi ash-Shiddieqie, 1974 : 203).
Tafsir bi al-dirayah walaupun di kalangan ulama telah terjadi perdebatan mengenai kebolehannya, namun tafsir bi al-dirayah sebenarnya tafsir dengan ijtihad, yang Rasulullah Saw. sendiri sempat kagum dan menyetujui Mu'ad ibn Jabal ketika menetapkan hukum melalui ijtihad setelah ia tidak menemukan pemecahan langsung dari al-Qur'an dan al-Sunnah.
Metode ijmali adalah metode penafsiran al-Qur'an secara ringkas dan global. Penafsirannya disusun berdasarkan ayat-perayat mengikuti susunan di dalam mushaf  dan menggunakan bahasa yang sederhana, sehingga dapat diterima oleh masyarakat intelktual (al-Farmawi, 1976 : 18). Karakteristik dari tafsir ijmali ini adalah :
1.   Makna ayat diungkapkan secara ringkas dan global, tetapi cukup jelas sehingga tidak sulit untuk menangkap maknanya;
2.   Tidak menutup kemungkinan, tafsir ijmali juga mengambil rujukan dari  hadits-hadits Rasulullah Saw., pendapat ulama salaf, sejarah, asbab al-nuzul dan qaidah-qaidah  bahasa.
Metode tahlili (analisis) atau disebut pula metode tajzi'iy adalah suatu metode yang para mufassir berusaha menerangkan ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-Qur'an sebagai mana yang tercantum dalam mushaf. Berbagai segi yang dianggap perlu oleh mufassir yang berpegang pada metode ini antara lain kosa kata, asbab al-nuzul, munasabah dan lainlain.
Tafsir tahlili walaupun dinilai sangat luas dan dapat meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan al-Qur'an, namun tidak terlepas pula dari kekurangan-kekurangan, anatara lain :
1.   Tafsir tahlili tidak menyelesaikan pokok bahasan secara tuntas, karena suatu bahasan yang terdapat  dalam suatu ayat diteruskan bahasannya di ayat lain;
2.   Baqir al-Shadr menilai, bahwa bahwa metode ini telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial dan kontradiktif dalam kehidupan umat Islam;
3.   Mufassir dengan metode ini berusaha menemukan dalil pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur'an;
4.   Bahasan-bahasan tafsir dengan menggunakan metode ini dirasakan mengikat generasi berikutnya (Quraisy Shihab, 1992 :86).
Ditinjau dari segi kecenderungan para mufassir dan pendekatan yang digunakannya, maka metode tahlili mempunya beberapa corak penafsiran  yang beragam, antara lain (1) al-riwayah; (2) al-dirayah; (3) al-isyarah; (4) al-shufi; (5) al-fiqh; (6) al-falsafi; (7) al-'ilmi; (8) al-adab al-ijtimai' (9) al-bayani; dll.
Metode tafsir maudlui' mempunyai dua bentuk kajian. (1) penafsiran mengenai satu surat dalam al-Qur'an secara utuh dan menyeluruh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga kesemua persoalan kait mengait bagaikan satu kesatuan persoalan; (2) menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an dari berbagai surat yang membahas satu masalah tertentu, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut sebagai jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan (Quraisy Shihab, 1992 :117).
Perbedaan antara tafsir tahlili dan maudlu'i adalah sebagai berikut :
Tafsir Tahlili
Maudlu'i


1.
Sesuai urutan ayat dan surat dalam mushaf.
1.
Tidak sesuai dengan urutan ayat dan surat dalam mushaf, tetapi tergantung pada tema.
2.
Tema ditentukan ketika penafsiran berlangsung.
2.
Tema ditentukan lebih dahulu sebelum melakukan penafsiran.
3.
Sistematika sesuai urutan ayat/surat.
3.
Sistematika sesuai kehendak al-Qur'an.

Metode tafsir muqaran (komparasi / perbandingan) penafsiran al-Qur'an dengan cara membandingkan : (1) ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama; (2) ayat-ayat al-Qur'an dengan hadits-hadits Nabi Saw. yang nampaknya bertentangan; (3) pendapat ulama tafsir mengenai penafsiran suatu ayat al-Qur'an (Quraisy Shihab, 1992 : 118).

D.     KESIMPULAN

Al-Qur'an sebagai suatu kitab hudan li al-nas menuntut orang yang menjadikan pegangan sebagai pedomannya untuk difahami dan dimengerti, sehingga ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya dapat direalisasikan dalam kehidupan guna menempuh kebahagiaan yang hakiki.
Upaya untuk memperoleh pemahaman terhadap makna al-Qur'an dilakukan sesuai dengan kapasitas pengetahuannya, yakni melalui jalan pemahaman (faham), penafsiran (tafsir), pena'wilan (ta'wil) dan penterjemahan (tarjamah) . Kesemua istilah ini masing-masing memiliki persamaandan perbedaan sebagai mana telah diuraikan di atas.
Penafsiran dapat dilakukan dengan mengambil metode baik   klasik atau baru. Yang klasik meliputi metode riwayah dan dirayah. Dan yang baru ditempuh dengan metode ijmali, tahlili, muqaran dan maudlui'.
Tafsir Tahlili memiliki corak yang berbeda-beda, yaitu : (1) al-riwayah; (2) al-dirayah; (3) al-isyarah; (4) al-shufi; (5) al-fiqh; (6) al-falsafi; (7) al-'ilmi; (8) al-adab al-ijtimai' (9) al-bayani; dll.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad EQ, Prof. Dr. Nurwajah, MA., dalam kuliah Ulumul Qur'an pada Program Paxcasarjana Institut Agama Islam Darussalam, Ciamis tanggal 17 Februari 2008.

Al-Dzahahabi, Dr. Muhammad Husain, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Beirut, t.p., 1976.

Al-Jurjani, 'Ali ibn Muhammad ibn 'Ali, al-Ta'rifat, Beirut, Dar al-Kitab al-'Arabi,1405.

Al-Qaththan, Manna', Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, t.t., Mansyurat al-'ashr al-hadits, 1973

Al-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Jilid II, t.t., 'Isa al-Babi al-Halabi wa Syirkah, t.th.

Anwar, Drs. Rosihon, M.Ag., Samudera al-Qur'an, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2001.

Ash Shiddieqy, Prof. Dr. T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur'an/Tafsir, Jakarta, Bulan Bintang, 1980.

Asy-Syirbashi, Ahamad, Sejarah Tafsir al-Qur'an, terjemahan bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1985.

Ibn al-Mandzhur, al-'Aalamah, Lisan al-'Arab, Jilid X, Beirut, Dar al-Fikr, 1999.

Ibn Katsir, al-Imam al-Jalil al-Hafidzh 'Imad al-Din Abi al-Fida` Isma'il, Tafsir al-Qur'an al-'Adzhim, Beirut, Dar al-Fikr, 1970.

Salim, Prof. Dr. Abd. Mu'in, MA, Metodologi Ilmu Tafsir, Sleman, Teras, 2005.

Shihab, Dr. M. Quraish, Membumikan al-Qur'an, Bandung, M izan, 1992