A. PENDAHULUAN
Al-Qur'an
memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas (QS. 2:185) yang
mengeluarkan ummat manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang (QS.
14:1). Di antara ayatnya menjelaskan, bahwa manusia tadinya merupakan satu
kesatuan (ummatan wahidatan). Tetapi karena lajunya perkembangan
penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan baru
yang menjadikan manusia berselisih. Karena itu Allah Swt. Mengutus Para
Nabi-Nya serta menurunkan al-Kitab untuk menyelesaikan perselisihan dan
menemukan jalan keluar dari problem itu (QS. 2:213).
Agar
al-Qur'an berfungsi sebagai mana yang digambarkan di atas, al-Qur'an memerintahkan manusia untuk
mempelajari dan memahami ayat-ayatnya, sehingga mereka – melalui
petunjuk-petunjuknya yang tersurat ataupun tersirat – dapat menemukan cahaya
yang terang benderang itu.
Usaha
untuk memahami al-Qur'an telah berlangsung berbarengan dengan saat
diturunkannya. Upaya ini dilakukan pertama kali oleh Rasulullah Saw., sebagai
yang mendapatkan amanat secara langsung dari Allah Swt. untuk menjelaskannya
(QS. 16 : 44 ), kemudian diiringi oleh para shahabat dan generasi-generasi
berikutnya setelah mereka tidak menemukan penjelasan Rasulullah Saw.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh mereka di atas disebut tafsir.
Seiring
dengan perkembangan pengetahuan manusia dan masuknya pengaruh dari dunia ilmu
pengetahuan, maka di samping istilah tafsir di atas terdapat pula istilah lain
yang memiliki fungsi yang sama, yaitu faham, ta'wil dan tajamah.
B.
FAHAM, TAFSIR, TA'WIL DAN TARJAMAH
Pengertian Faham, Tafsir, Ta'wil dan Tarjamah
Secara
teoritis belum banyak para ahli yang mendeskripsikan tentang istilah pemahaman (al-fahm),
lain halnya dengan istilah tafsir, ta'wil dan tarjamah. Dengan
sangat ringkas Ibn Mandzhur (1999 : 343) dalam Lisan al-'Arab menjelaskan,
bahwa Faham (al-fahm) معرفتك الشيئ بالقلب (pengetahuanmu berdasarkan penilaian hati tentang
sesuatu). Dan ungkapan rajulun fahimun, maknanya seseorang sangat cepat
pemamahannya. Demikian pula al-Jurjani
(1405 : 148) mengungkapkan, fahm adalah
تصور المعنى من لفظ المخاطب menggambarkan
makna dari sesuatu yang diungkapkan oleh pihak kedua / mukhathab (Al-Jurjani,
1405 : t.p.). Memahami (fahm) al-Qur'an berarti suatu upaya untuk
menggambarkan makna ayat al-Qur'an. Untuk lebih jelasnya di bawah nanti akan
dikemukakan perbedaannya dengan tafsir.
Tafsir
adalah suatu istilah yang diambil dari bahasa Arab, yakni al-fasr, yang
artinya menurut al-Dzahabi (1976 : 13) adalah al-idlah wa al-tabyin (penjelasan
dan keterangan) seperti terungkap dalam QS. 25:33. Penulis Lisan al-'Arabi, Ibn
al-Mandzhur memaknakannya dengan al-bayan (menjelaskan) dan kasyf
al-mughaththa (menyingkapkan sesuatu yang masih tertutup). Dan yang
dimaksud adalah menjelaskan suatu maksud dari lafal ayat yang sulit difahami
(Al-Dzhabi, 1976 : 13).
Abu
Hayyan dalam kitabnya, al-Bahr al-Muhith mengungkapkan, bahwa tafsir
adalah :
علم يبحث عن كيفية
النطق باللفاظ القران, و مدلولاتها, و احكامها الافرادية و التركيبية, و معانيها
التي تحمل عليهاحالة التركيب و تتمات لذلك
Ilmu yang membahas tentang
cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur'an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya
baik ketika berdiri sendiri ataupun ketika tersusun, makna-makna yang
dikandungnya ketika tersusun dan hal-hal lain yang melengkapinya (Al-Dzahabi, 1976 : 13).
Demikian pula al-Zarkasyi
memberikan pengertian
علم
يفهم به كتاب الله المنزل على نبييه محمد صلعم و بيان معانيه و استخراج احكامه و
حكمه.
Ilmu untuk memahami kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammadi Saw., menjelaskan
makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya (Al-Dzahabi, 1976 : 13).
Al-Zarqani (t.th. : 3) juga
memberikan ta'rif, bahwa yang dimaksud tafsir adalah
علم يبحث فيه عن
القران الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية.
Ilmu yang membahas al-Qur'an
al-Karim dari segi dalalahnya terhadap apa yang dimaksud oleh Allah Swt. sesuai
kadar kemampuan manusia.
Ahmad
Asy-Syirbashi (1985 : 5) mengungkapkan, bahwa secara global ulama mempunyai dua
pengertian tentang tafsir, yaitu :
1. Penjelasan atau
keterangan tentang firman Allah Swt. yang dapat memberikan pengertian mengenai
susunan kalimat yang terdapat dalam al-Qur'an;
2. Merupakan bagian
dari ilmu badi' sebagai salah
satu cabang dari ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam
penyusunan kalimat.
Masih
banyak pengertian lain tentang tafsir yang telah dikemukakan ulama, yang
masing-masing berbeda dalam penekannya. Pertama menekankan tafsir
sebagai alat dan kedua menekankan tafsir sebagai tujuan. Menurut
Dr . Abd. Muin Salim
semua pengertian itu dapatlah dikompromikan dan paling tidak terkandung tiga
konsep, yaitu : pertama tafsir merupakan kegiatan ilmiah yang berfungsi
untuk memahami dan menjelaskan kandungan ayat al-Qur'an, kedua tafsir
sebagai ilmu pengetahuan yang digunakan
untuk melakukan kegiatan ilmiah tersebut dan ketiga tafsir
sebagai ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kegiatan ilmiah di atas. Ketiga
konsep ini dapat disimpulkan, bahwa tafsir itu sebagai proses, alat dan hasil
(Abd. Muin Salim, 2005 : 28).
Istilah
tafsir terkadang pula disamakan dengan ta`wil. Karena itu do'a
Rasulullah untuk Ibn 'Abbas – Ya Allah ! semoga engkau memberikan pemahaman
yang mendalam tentang agama kepadanya (Ibn 'Abbas) dan semoga pula mengajarkan
kepadanya ta`wil, yakni tafsir. Tetapi selain itu ada yang menganggap,
bahwa ta`wil itu lain dengan tafssir.
Al-Dzahabi
(1976 : 13) mengutip
apa yang dikemukan oleh penulis Lisan al-'Arab, bahwa ta`wil secara
bahasa berakar kata dari al-'aul yang semakna dengan al-ruju' (kembali).
Selain dari itu ada pula yang menilai, bahwa ta`wil berakar kata
dari al-iyalah yang artinya al-siyasah (mengendalikan). Orang
yang memberikan ta`wil berarti mengendalikan ucapan dan meletakkan makna
menurut yang semestinya.
Ulama
salaf terbagi pada dua kelompok dalam memahami ta`wil. Pertama menurut
mereka, bahwa ta`wil sinonim dengan tafsir dan kedua ta`wil itu esensi
kalam (ucapan). Ulama Mutaakhkhirin (yang tergabung di dalamnya ahli fiqih,
ahli kalam, ahli tasauf dll) memaknakan ta`wil
صرف اللفظ عن المعنى
الراجح الى المعنى المرجوح لدليل يقترن به
Memalingkan suatu lafad dari
maknanya yang jelas pada makna yang tidak jelas karena ada dalil yang
membarenginya
(Al-Dzahabi, 1976
: 17-18).
Dua pengertian tentang ta`wil
di atas memberikan dampak yang berbeda pula terhadap sikap ulama. Ulama salaf
merasa keberatan melakukan pena`wilan al-Qur'an dalm arti mengungkap esensinya
dan memalingkan dari makna yang jelas pada yang tidak jelas. Imam Malik –
misalnya - enggan membenarkan seseorang berkata, "langit menurunkan
hujan", karena menurutnya, bahwa sesungguhnya Allahlah yang menurunkan
hujan itu. (Quraish Shihab, 1992 : 97).
Quraish Shihab, (1992
:109-110) mengistilahkan ta`wil dengan penjelasan metaforis. Menurutnya,
bahwa ulama salaf merasa puas dengan
mengungkapkan Allah a'lam bi muradih (Allah Maha mengetahui maksud-Nya). Tetapi hal ini sebenarnnya tidak
memuaskan banyak pihak apalagi pada dewasa ini. Karena itu sedikit demi sedikit
sikap seperti itu berubah dari penjelasan literal (tafsir) beralih pada
penjelasan metaforis (ta'wil). Dan pada kenyataannya tafsir seringkali
mempersempit makna, berbeda dengan ta`wil dapat memperluas makna dan tidak
menyimpang.
Di
samping istilah-istilah di atas yang berfungsi untuk menjelaskan al-Qur'an ada
pula istilah lain yang disebut tarjamah. Al-Dzahabi (l976 : 23) menyebutnya
sebagai tafsir dengan yang bukan bahasanya.
Tarjamah menurut bahasa ungkap al-Dzahabi mencakup pada dua makna, pertama memindahkan
suatu bahasa pada bahasa lain dengan tanpa ada penjelasan makna asal yang
diterjemahkan dan kedua menafsirkan
(menerangkan) suatu ucapan serta menerangkan maknanya dengan bahasa yang lain.
Tarjamah
dalam tataran praktisnya terdapat dua bagian, yaitu tarjamah
harfiyah dan tarjamah tafsiriyah.
Tarjamah harfiyah, baik menurut al-Dzahabi (1976 : 23-24) ataupun menurut al-Qaththan (1973 : 313) adalah memindahkan
suatu ucapan dari suatu bahasa (pertama) ke bahasa yang lain (kedua) dengan
tetap sesuai dengan struktur dan susunan bahasa asalnya (pertama)serta
terpenuhi semua maknanya. Tarjamah harfiyyah bagi al-Qur'an ada dengan cara bi
al-misl, yaitu menterjemahkan al-Qur'an sesuai dengan kosa
kata dan uslubnya dan ada pula dengan cara bi ghair al-misl,
yakni menterjemahkan al-Qur'an sesuai dengan kemampuan dan keluasan
bahasa penterjemah. Al-Dzahabi menilai (1976 : 25) , bahwa tarjamah harfiyah walaupun
mungkin dapat digunakan untuk kalam manusia, tetapi tidak boleh bagi al-Qur'an,
sebabdapat merusak makna.
Tarjamah
tafsiriyah atau disebut pula tarjamah ma'nawiyah menurut al-Qaththan (1973 :
313) adalah menjelaskan suatu ucapan dengan bahasa yang lain dengan tanpa
teikat pada susunan dan struktur bahasa asalnya. Tarjamah tafsiriyah/ma'nawiyah
mempunyai dua makna, yaitu ada yang
memiliki makna asli (primer), artinya makna yang difahami secara sama oleh
setiap orang yang mengetahui pengertian
lafad, baik secara mufrad atau secara murakab. Dan ada yang memilki makna tsanawi
(skunder), yakni makna yang khusus bagi susunan suatu kalimat yang dapat
menjadikan perkataan itu berkualitas tinggi.
Tarjamah
tafsiriyah yang bermakna tsanawi tidak mudah untuk dilaksanakan, sebab sulitnya
menemukan padanan suatu bahasa dengan bahasa Arab (al-Qur'an) yang dalalah lafad-lafadnya
terhadap makna-maknanya menurut ahli bayan memiliki khawash
al-tarkib (keunikan susunan). Dan yang paling mungkin
dilakukan untuk menterjemahkan al-Qur'an adalah dengan terjemah tafsiriyah yang
bermakna ashli, sebab jika tidak demikian pesan al-Qur'an untuk orang 'ajam
tidak bisa sampai.
Perbedaan antara
Faham, Tafsir, Ta'wil dan Tarjamah
Roni
Nugraha ketika menjelaskan perbedaan antara tafsir dan fahm dalam kertas
kerjanya mengutip penjelasan yang disampaikan Nurwajah. Perbedaan antara faham
dan tafsir terletak pada karakteristik dan tujuannya. Karakter tafsir bersifat
objektif dan faham bersifat subjektif. Tujuan dalam penafsiran adalah untuk
mengungkapkan dan menjelaskan maksud-maksud Allah dalam al-Qur'an (al-kasyf
wa al-bayan 'an murad Allah) sedang tujuan pemahaman al-Qur'an adalah terikat
pada tujuan si pemaham al-Qur'an.
Perbedaan
antara tafsir dan ta'wil, Al-Dzahabi (1976 : 19-22) menginpentarisasi
beberapa pandangan ulama, yaitu :
1. 'Abu
'Ubaidah dan yang segolongan dengannya
menilai, bahwa tafsir sinonim dengan
ta'wil itu, yakni satu makna.
2. Menurut
al-Raghib al-Ashfahani, bahwa tafsir itu lebih umum dari pada ta'wil. Ta'wil
banyak digunakan untuk memahami lafad sedang ta'wil banyak digunakan untuk
memahami makna. Ta'wil banyak digunakan dalam pembahasan masalah ketuhanan
sedang tafsir selain digunakan dalam pembahasan ketuhanan juga digunakan pula
dalam pembahasan lainnya. Tafsir banyak digunakan untuk memahami kosa kata,
sedang ta'wil banyak digunakan dalam jumlah (kalimat). Ta'wil banyak digunakan
untuk memahami lafad-lafad yang gharib dan memahami makna yang terkandung dalam
qishah sedang ta'wil adakalnya memaknakan suatu lafad secara umum dan
adakalanya secara khusus dan pula untuk memahmai makna lafad musytarak.
3. Al-Maturidi
menjelaskan, bahwa tafsir menetapkan secara pasti maksud kata itu sedang ta'wil
hanya membenarkan salah satu di antara beberapa kemungkinan makna, tanpa
menetapkan secara pasti mana yang paling benar.
4. Abu
Thalib al-Tsa'labi menegaskan, tafsir adalah penjelasan mengenai pengertian
suatu kata baik secara hakiki atau majazi, sedang ta'wil adalah tafsir mengenai
apa yang tersirat dalam kata/kalimat.
5. Al-Baghawi
sejalan pula dengan al-Kawasyi menjelaskan, bahwa ta'wil memalingkan ayat pada
makna yang dikandungnya, baik sesuai dengan ungkapan sebelumnya ataupun
sesudahnya dengan tetap tidak menyalahi al-Kitab dan al-Sunnah dengan dengan
jalan beristinbath, sedang tafsir adalah uraian tentang asbab al-nuzul ayat dan
persoalan-persoalannya serta kisah-kisahnya.
6. Menurut
sebagian yang lain, bahwa tafsir ditempuh dengan pendekatan riwayah sedang
ta'wil ditempuh dengan pendekatan dirayah.
7. Selain
itu pula ada yang berbendapat, bahwa ta'wil
merupakan penjelasan makna secara 'ibarah sedang ta'wil merupakan penjelasan
makna secara isyarah.
Untuk
mendapatkan gambaran yang konkrit tentang perbedaan antara tafsir, ta'wil dan
faham, Prof. Dr. Nurwajah Ahmad Eq dalam kuliah tentang Ulumul Qur'an tanggal
17 Februari 2008 menjelaskan sebagai berikut :
SEGI-SEGI
|
TAFSIR
|
TA'WIL
|
FAHAM
|
Tujuan
|
Pengungkapan
dan penjelasan maksud Allah.
|
Pengambilan makna ayat sesuai dengan tujuan
pelaku
|
Pengambilan makna ayat sesuai dengan tujuan
pelaku.
|
Metode
|
Al-tahlili,
maudlui', muqarani dan ijmali.
|
Tarjih
al-ma'na, dari yang rajih pada yang marjuh.
|
Nalar
|
Sumber
|
Al-Qur'an,
al-Hadits dan qaul shahabi.
|
Bahasa
Arab.
|
Informasi kebahasaan dan kemampuan-kemampuan manusia.
|
Alat
|
Ulum
al-Qur'an dan kemampuan-kemampuan manusia.
|
Ilmu
bahasa Arab
|
Kekuatan akal dan ilmu bahasa.
|
Satuan
Kajian
|
Ayat-ayat
atau lafad-lafad (kosa kata) yang terikat pada satu kesatuan utuh sistema
redaksioanal al-Qur'an.
|
Kalimat
(jumlah) yang terikat pada satu kesatuan utuh sistema redaksioanal ayat al-Qur'an.
|
Bisa saja lepas dari ikatan
kesatuan sistema redaksional.
|
Sikap
(
|
Apresiatif
dan aktif dalam mencari maksud Allah.
|
Apresiatif
dan aktif dalam mencari maksud Allah.
|
Secara umum interventif dalam
menuntaskan tujuannya.
|
Perlakuan
subjek terhadap al-Qur'an
|
Al-Qur'an
sebagai sumber petunjuk (hudan) sekaligus pembicara (mutakallim) otoritatif
dalam tema yang diajuikan pada al-Qur'an.
|
Al-Qur'an
sebagai sumber petunjuk (hudan) sekaligus pembicara (mutakallim) otoritatif
dalam tema yang diajuikan pada al-Qur'an.
|
Al-Qur'an
sebagai sumber untuk tujuan pemahaman
|
Tafsir
juga berbeda dengan tarjamah (tafsiriyah). Menurut al-Dzahabi (1976 : 28), bahwa perbedaan
diantara keduanya dapat ditinjau dari dua segi, pertama Tafsir
dan tarjamah masing-masing berbeda dalam penggunaan bahasa, tafsir menggunakan
bahasa aslinya sedangkan tarjamah menggunakan bahasa lain (yang bukan aslinya).
Kedua seseorang
yang membaca dan memahami tafsir dimungkinkan akan memperhatikan susunan dan
dalalah bahasa aslinya lalu jika ia menemukan kesalahan akan segera
mengoreksinya. Berbeda seorang yang membaca tarjamah tidak memperhatikan hal
itu, karena ia tidak mengetahui susunan dan dalalahsuatu bahasa (al-Qur'an).
Perbedaan
lainnya, ketiga bahwa pada terjemah tidak terdapat lagi
bahasa aslinya, sedang pada tafsir bahasa aslinya masih tetap ada dan dikutip
kembali; keempat pada
tarjamah tidak boleh ada perluasan makna, sedang pada tafsir perluasan makna
merupakan suatu keharusan.; kelima pada terjemah harus terpenuhi maksud dan
makna bahasa aslinya karena itu sipenterjemah dapat dikatakan telah berhasil
dalam melakukan penterjemahan, berbeda halnya dengan tafsir, tidak harus terpenuhi semua maksud dan makna
bahasa yang ditafsirkan dan bahkan pengakuan mengenai keberhasilannya pun
relative.
C.
METODE
DAN CORAK PENAFSIRAN
Pada masa-masa awal
pertumbuhan tafsir, metode penafsiran didasarkan pada sumbernya, secara global terdapat
dua macam metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-riwayah (bi al-ma'tsur) dan
tafsir bi al-dirayah (bi al-ma'qul / bi al-ra'y). Dari dua metode ini
kemudian berkembang dan lahir metode ijmali, tahlili, muqaran dan maudlui'.
Menurut al-Qaththan (l973 :
347), bahwa yang dimaksud tafsir bi al-riwayah adalah tafsir yang
disandarkan pada nash-nash yang dinukil secara shahih dan tartib, seperti
tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, dengan al-sunnah, dengan atsar shahabat
kemudian dengan qaul tabi'in.
Jika merujuk pada pengertian
di atas, maka ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi
al-riwayah. Pertama al-Qur'an yang dipandang sebagai
penafsir yang terbaik bagi al-Qur'an; kedua al-Sunnah yang
berfungsi sebagai mubayyin al-Qur'an; ketiga shahabat
yang dianggap paling mengetahui tentang penafsiran al-Qur'an dan keempat
tabi'in sebagai orang yang bertemu dengan shahabat (Rosihon Anwar, 2001 :
182). Karena otoritas-otoritas ini, Ibnu Katsir (1970 : 7) menilai tafsir bi
al-riwayah sebagai tafsir yang paling baik. Namun demikian ungkap Quraisy
Shihab (1992 :84), dalam tafsir ini tidak terlepas dari adanya
keistimewaan-keistimewaan dan kelemahan-kelemahan.
Kelebihan-kelebihannya adalah
pertama menekankan pentingnya bahasa dalam memahami
al-Qur'an; kedua memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika
menyampaikan pesan-pesannya dan ketiga mengikat mufassir
dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas
berlebihan.
Kelemahan-kelemahannya dapat
diperhatikan pada kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini. Pertama
para mufassir terjerumus pada uraian kebahasaan dan kesusastraan yang
bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur'an menjadi kabur; kedua sering
konteks turunnya ayat kurang diperhatikan, sehingga seolah-olah ayat-ayat itu
turun di tengah-tengah masa yang hampa budaya. Di samping itu pula ketiga
dalam kitab tafsir bi al-riwayah tidak tersaring dari riwayat-riwayat
yang dla'if dan maudlu.
Sedang tafsir bi
al-dirayah adalah tafsir yang penjelasan-penjelasannya disamping
disandarkan pada al-Qur'an, al-Sunnah, atsar shahabat dan tabi'in juga
menggunakan ijtihad dan akal yang berpegang pada qaidah-qaidah bahasa, adat-istiadat
dan keilmuan lainnya (Hasbi ash-Shiddieqie, 1974 : 203).
Tafsir bi al-dirayah
walaupun di kalangan ulama telah terjadi perdebatan mengenai kebolehannya,
namun tafsir bi al-dirayah sebenarnya tafsir dengan ijtihad, yang
Rasulullah Saw. sendiri sempat kagum dan menyetujui Mu'ad ibn Jabal ketika menetapkan
hukum melalui ijtihad setelah ia tidak menemukan pemecahan langsung dari
al-Qur'an dan al-Sunnah.
Metode ijmali adalah
metode penafsiran al-Qur'an secara ringkas dan global. Penafsirannya disusun
berdasarkan ayat-perayat mengikuti susunan di dalam mushaf dan menggunakan bahasa yang sederhana,
sehingga dapat diterima oleh masyarakat intelktual (al-Farmawi, 1976 : 18).
Karakteristik dari tafsir ijmali ini adalah :
1. Makna ayat diungkapkan secara ringkas dan
global, tetapi cukup jelas sehingga tidak sulit untuk menangkap maknanya;
2. Tidak menutup kemungkinan, tafsir ijmali juga
mengambil rujukan dari hadits-hadits
Rasulullah Saw., pendapat ulama salaf, sejarah, asbab al-nuzul dan qaidah-qaidah
bahasa.
Metode tahlili (analisis)
atau disebut pula metode tajzi'iy adalah suatu metode yang para mufassir
berusaha menerangkan ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan
runtutan ayat al-Qur'an sebagai mana yang tercantum dalam mushaf. Berbagai segi
yang dianggap perlu oleh mufassir yang berpegang pada metode ini antara lain
kosa kata, asbab al-nuzul, munasabah dan lainlain.
Tafsir tahlili walaupun
dinilai sangat luas dan dapat meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman
akan kemukjizatan al-Qur'an, namun tidak terlepas pula dari
kekurangan-kekurangan, anatara lain :
1. Tafsir tahlili tidak menyelesaikan
pokok bahasan secara tuntas, karena suatu bahasan yang terdapat dalam suatu ayat diteruskan bahasannya di
ayat lain;
2. Baqir al-Shadr menilai, bahwa bahwa metode
ini telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial dan kontradiktif dalam
kehidupan umat Islam;
3. Mufassir dengan metode ini berusaha menemukan
dalil pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur'an;
4. Bahasan-bahasan tafsir dengan menggunakan metode
ini dirasakan mengikat generasi berikutnya (Quraisy Shihab, 1992 :86).
Ditinjau dari segi
kecenderungan para mufassir dan pendekatan yang digunakannya, maka metode tahlili
mempunya beberapa corak penafsiran yang
beragam, antara lain (1) al-riwayah; (2) al-dirayah; (3) al-isyarah; (4) al-shufi;
(5) al-fiqh; (6) al-falsafi; (7) al-'ilmi; (8) al-adab al-ijtimai' (9)
al-bayani; dll.
Metode tafsir maudlui' mempunyai
dua bentuk kajian. (1) penafsiran mengenai satu surat dalam al-Qur'an secara
utuh dan menyeluruh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus,
menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga
kesemua persoalan kait mengait bagaikan satu kesatuan persoalan; (2) menghimpun
sejumlah ayat al-Qur'an dari berbagai surat yang membahas satu masalah
tertentu, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut sebagai
jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan (Quraisy Shihab, 1992 :117).
Perbedaan antara tafsir
tahlili dan maudlu'i adalah sebagai berikut :
Tafsir
Tahlili
|
Maudlu'i
|
||
1.
|
Sesuai urutan ayat dan
|
1.
|
Tidak sesuai dengan urutan
ayat dan
|
2.
|
Tema ditentukan ketika
penafsiran berlangsung.
|
2.
|
Tema ditentukan lebih
dahulu sebelum melakukan penafsiran.
|
3.
|
Sistematika sesuai urutan
ayat/surat.
|
3.
|
Sistematika sesuai kehendak
al-Qur'an.
|
Metode tafsir muqaran (komparasi
/ perbandingan) penafsiran al-Qur'an dengan cara membandingkan : (1) ayat-ayat
al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara
tentang masalah atau kasus yang berbeda dan yang memiliki redaksi yang berbeda
bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama; (2) ayat-ayat al-Qur'an
dengan hadits-hadits Nabi Saw. yang nampaknya bertentangan; (3) pendapat ulama
tafsir mengenai penafsiran suatu ayat al-Qur'an (Quraisy Shihab, 1992 : 118).
D.
KESIMPULAN
Al-Qur'an sebagai suatu kitab
hudan li al-nas menuntut orang yang menjadikan pegangan sebagai
pedomannya untuk difahami dan dimengerti, sehingga ajaran-ajaran yang
terkandung di dalamnya dapat direalisasikan dalam kehidupan guna menempuh
kebahagiaan yang hakiki.
Upaya untuk memperoleh
pemahaman terhadap makna al-Qur'an dilakukan sesuai dengan kapasitas
pengetahuannya, yakni melalui jalan pemahaman (faham), penafsiran (tafsir),
pena'wilan (ta'wil) dan penterjemahan (tarjamah) . Kesemua
istilah ini masing-masing memiliki persamaandan perbedaan sebagai mana telah
diuraikan di atas.
Penafsiran dapat dilakukan
dengan mengambil metode baik klasik
atau baru. Yang klasik meliputi metode riwayah dan dirayah. Dan yang baru
ditempuh dengan metode ijmali, tahlili, muqaran dan maudlui'.
Tafsir Tahlili memiliki corak
yang berbeda-beda, yaitu : (1) al-riwayah; (2) al-dirayah; (3) al-isyarah; (4)
al-shufi; (5) al-fiqh; (6) al-falsafi; (7) al-'ilmi; (8) al-adab al-ijtimai'
(9) al-bayani; dll.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Dzahahabi,
Dr. Muhammad Husain, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I,
|
|
Al-Jurjani, 'Ali ibn Muhammad ibn 'Ali, al-Ta'rifat,
|
|
Al-Qaththan, Manna', Mabahits fi
'Ulum al-Qur'an, t.t., Mansyurat al-'ashr al-hadits, 1973
|
|
Al-Zarqani,
Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Jilid II, t.t., 'Isa al-Babi
al-Halabi wa Syirkah, t.th.
|
|
Anwar, Drs. Rosihon, M.Ag., Samudera
al-Qur'an,
|
|
Ash
Shiddieqy, Prof. Dr. T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur'an/Tafsir,
|
|
Asy-Syirbashi,
Ahamad, Sejarah Tafsir al-Qur'an, terjemahan bahasa
|
|
Ibn al-Mandzhur, al-'Aalamah, Lisan
al-'Arab, Jilid X,
|
|
Ibn
Katsir, al-Imam al-Jalil al-Hafidzh 'Imad al-Din Abi al-Fida` Isma'il, Tafsir
al-Qur'an al-'Adzhim, Beirut, Dar al-Fikr, 1970.
|
|
Salim,
|
|
Shihab, Dr. M. Quraish, Membumikan
al-Qur'an,
|
|